MAKALAH
”MENGGARAI
(SUKU TIMUR)”
Untuk
memenuhi mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar
Dosen
Pengampu Ibu Novi Indrayani.,S.ST.,M.kes

Disusun
Oleh :
1.
Barkhah
Duila 13140042 (B.10.1)
2.
Siti
Faiga 13140192 (B.10.3)
3.
Safitriyani 15140015 (B.12.1)
4.
Ni
Kadek Mega D.L 15140025 (B.12.1)
5.
Martina
Yulianti 15140036 (B.12.1)
6.
Wulandari
Nurdin 15140063 (B.12.1)
7.
Rita
Ratnasari 15140076 (B.12.2)
8.
Ari
Dwi Nurmayanti 15140077 (B.12.2)
9.
Kasri
Dewi Putrianti 15140086 (B.12.2)
10. Marleni Laode 15140091 (B.12.2)
11. Rindana Saputri O. 15140099 (B.12.2)
12. Siti Misdiati 15140117 (B.12.2)
13. Silviana Ika A.L 15140179 (B.12.2)
14. Dominina Dos Reis 15140182 (B.12.2)
15. Rina Septiana 15140208 (B.12.2)
DIV-BIDAN
PENDIDIK
FAKULTAS
ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS
RESPATI YOGYAKARTA
TAHUN
2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat, nikmat dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Ilmu Sosial Budaya Dasar
ini yang membahas tentang Manggarai (suku Timur).
Kami menyadari
bahwa makalah yang kami susun ini tak luput dari kekurangan, maka saran dan
kritik yang membangun kami harapkan dalam menyempurnakan makalah kami, semoga
makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.
Yogyakarta, 05 Mei 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Kata pengantar................................................................................................................... i
Daftar isi............................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................ 1
A.
Latar belakang...................................................................................................... 1
B.
Rumusan
masalah................................................................................................ 2
C.
Tujuan penulis
makalah....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................ 3
A.
Pengertian Manggarai...................................................................................................................... 3
B.
Ragam Budaya
Manggari............................................................................................................... 4
C.
Asal usul
Manggarai....................................................................................................................... 11
D.
Asal Mula suku
suka Manggarai............................................................................................. 13
BAB III PENUTUP............................................................................................................. 15
A.
Kesimpulan.................................................................................................... ....15
B.
Saran................................................................................................................. 15
Daftar pustaka................................................................................................................. 16
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah Suku
Manggarai ~ Suku bangsa Manggarai mendiami Kabupaten
Manggarai yang terletak di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Jumlah populasinya sekitar 350.000 jiwa. Bahasa Manggarai
nampaknya terdiri atas beberapa dialek, seperti dialek Pae, Mabai, Rejong,
Mbaen, Pota, Manggarai Tengah, Manggarai Timur, dan
Manggarai Barat. Empat dialek terdepan mungkin merupakan bahasa
dari kelompok suku bangsa tersendiri yang tunduk kepada orang Manggarai di
zaman dulu.
Pada zaman dulu di Manggarai terdapat sebuah kerajaan. Pada masa sekarang sisa-sisanya masih kelihatan berupa pembagian wilayah tradisional ke dalam wilayah adat yang disebut dalu. Pada zaman dulu jumlah dalu ini sampai 39 buah. Tiap-tiap dalu dikuasai oleh satu klen atau wau tertentu. Dalam setiap dalu terdapat beberapa buah glarang dan di bawahnya lagi terdapat kampung-kampung yang disebut beo. Orang-orang dari wau yang dominan dan menguasai dalu menganggap diri mereka sebagai golongan bangsawan. Antara satu dalu dengan dalu lainnya sering mengadakan aliansi perkawinan dalam sistem yang mereka sebut perkawinan tungku (semacam perkawinan sepupu silang). Antara dalu dengan glarang sering pula terjadi perkawinan, karena sebuah glarang umumnya juga dikuasai oleh sebuah wau dominan. Dalu sebagai bawahan kerajaan dipimpin oleh seorang kraeng, yang biasanya dipanggil Kraeng Adak. Kraeng yang dianggap berjasa berhak memperoleh gelar Sangaji dari raja. Sementara itu adanya wau yang dominan itu maka dalam masyarakat Manggarai terdapat pelapisan sosial yang cukup jelas. Pertama adalah golongan yang menganggap dirinya bangsawan, yang biasanya memakai gelar kraeng. Kedua adalah golongan rakyat biasa yang disebut ata lahe. Golongan ketiga adalah hamba sahaya atau mendi. Tentu saja pada zaman sekarang pelapisan sosial ini sudah semakin kabur.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Manggarai?
2.
Apa Ragam
Budaya Manggarai?
3. Apa
Asal usul Manggarai
4. Apa
Asal Mula Suku Suka di Kabupaten
Manggarai
C.
Tujuan Penulis Makalah
1.
Untuk mengetahui dan memahami
pengertian Manggarai.
2.
Untuk mengetahui dan memahami apa
saja Ragam budaya di Kabupaten Manggarai.
3.
Untuk mengetahui dan memahami Asal
usul Manggarai
4.
Untuk mengetahui dan memahami Asal
mula suku suka di Kabupaten Manggarai
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Menggarai
suku Manggarai adalah sebuah suku bangsa yang
mendiami bagian barat pulau Flores di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
Indonesia. Suku Manggarai tersebar di tiga Kabupaten di Provinsi yaitu,
Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Manggarai, dan Kabupaten Manggarai Timur.
Menurut catatan sejarah, mereka secara historis di
kuasai secara bergantian oleh suku Bima dari pulau Sumbawa, dan suku Makassar
dari pulau Sulewesi. Terdapat sekitar 500.000 orang Manggarai pada akhir abad
ke-20.
Flores
barat didiami oleh orang Manggarai. Paling tidak ada dua versi tentang penamaan
Manggarai. Versi pertama
mengatakan bahwa Manggarai merupakan gabungan dua kata dalam bahasa Gowa-
Sulawesi Selatan, yaitu manggar, artinya sauh atau jangkar
dan rai, artinya putus. Jadi Manggarai artinya sauh atau
jangkar putus. Kisahnya demikian;
menurut ceritera rakyat setempat, orang-orang Gowa berlayar ke arah selatan dan
menemukan sebuah daerah yang berhutan lebat dan sangat subur. Mereka berencana
mendarati daerah itu. Namun karena hujan badai yang besar, jangkar perahu.
Versi kedua
mengatakan bahwa Manggarai merupakan gabungan kata Manggar dan Rai. Versi ini mengatakan bahwa kata manggar
diambil dari nama batu yang dibawa oleh Empo Masur seorang
keturunan raja ( Raja Luwu ) dan merupakan cikal bakal orang Todo-Pongkor dari
Sumatera Barat yang artinya watu
jangkar yang biasanya digunakan untuk menahan Wangka (Perahu) ketika
berlabuh. Sedangkan kata watu rai berarti batu asah yang digunakan untuk mengasah
parang, tombak dan benda-benda tajam lainnya. Kedua batu ini merupakan dasar
pemberian nama Manggarai.
Ada
banyak versi yang berkembang di Manggarai tentang asal-usul mereka. Ada yang mengatakan bahwa
mereka adalah keturunan Sumba, Bima, Bugis
Luwu, Melayu Malaka atau Minangkabau.
Versi lain lagi mengatakan bahwa nenek moyang
orang Manggarai, terutama orang Cibal berasal dari Makasar. Versi ini
mengatakan bahwa orang-orang Makasar di utara Floress Barat dan bergerak menuju
pedalaman dan tiba di daerah Cibal lalu mendirikan kerajaan di daerah itu.
Mereka inilah yang merupakan nenek moyang orang Cibal. Pendukung versi ini
melihat kesamaan kata-kata bahasa Manggarai dengan bahasa Makasar serta bentuk
rumah panggung ( mbaru ngaung ) selain kain sarung berupa songke (lipa songke,
towe songke) sebagai alasan.
B.
Ragam
Budaya Manggarai
Pada umumnya
gambaran masyarakat Manggarai bisa dilihat dari corak maupun ragam budayanya
yang tercermin dalam berbagai sistem atau sub-sistem yang berlaku. Beragam
sub-sistem yang hidup dalam masyarakat Manggarai yang dapat memperlihatkan
bagaimana sesungguhnya corak kebudayaan di Manggarai. Sub-sistem yang hidup
dalam masyarakat Manggarai yaitu sub-sistem religi, sub-sistem organisasi, sub-sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian atau ekonomi, sistem
teknologi.
1.
Religi
Secara umum,
sistem religi asli orang Manggarai adalah monoteis implisit, dengan dasar
religinya yakni menyembah Tuhan Maha Pencipta dan Maha Kuasa (mori jadi
dedek – Ema pu’un kuasa), meski masih terdapat cara-cara dan tempat
persembahan misalnya, compang (mesbah) juga terkadang di bawah pohon-pohon
besar yang dipandang angker dan suci.
Pada masa
sekarang orang Manggarai sudah memeluk agama-agama besar. Wilayah
Kedaluan bagian timur kebanyakan memeluk agama Katolik, Kedaluan sebelah utara,
barat, dan selatan umumnya beragama Islam, dan sebagian kecil beragama
Protestan. Sementara itun sisa-sisa kepercayaan lama masih terlihat di beberapa
tempat. Pada zaman dulu masyarakat ini memuja roh nenek moyang (empo atau
andung) dan amat hati-hati terhadap gangguan makhluk halus yang disebut golo,
ata pelesina, naga, dan lain-lain. Mereka juga memiliki dewa tertinggi yang
disebut Mori Karaeng.
a) Compang (Mesbah)
Yang
didirikan di tengah kampung karena menurut kepercayaan orang Manggarai di sana
berdiamlah Sang Naga Beo (kekuatan pelindung) yang menjaga ketentraman warga
kampung setiap waktu. Compang itu berbentuk bulat maksudnya atau mengandung
makna kekerabatan, sehingga dalam upacara adat Manggarai sering diungkapkan
kalimat sebagai berikut:
·
Muku ca pu’u toe woleng curup
(kesatuan kata)
·
Ipung ca tiwu neka woleng wintuk
(kesatuan tindakan)
·
Teu ca ambong neka woleng lako
(kesatuan langkah)
Wujud nyata
dari prinsip ini nampak dalam kegiatan leles, kokor tago, dan lain-lain.
semuanya menekankan persaudaraan, kebersamaan, dan kekeluargaan. Di dalam
masyarakat Manggarai, khususnya berkaitan dengan religius tumbuh dan
berkembangnya upacara-upacara adat yang berkaitan untuk menyebut nama Tuhan atau
wujud tertinggi misalnya :
1)
Dalam acara penti, ucapan untuk
menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi:
·
Lawang morin agu ngaran
Artinya untuk minta pengukuhan dari Tuhan sebagai pemilik atau pemberi atas benih atau tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh manusia. sehingga dalam adat Manggarai, diadakannya pesta penti (syukuran) kepada Tuhan atas pemberiannya itu.
Artinya untuk minta pengukuhan dari Tuhan sebagai pemilik atau pemberi atas benih atau tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh manusia. sehingga dalam adat Manggarai, diadakannya pesta penti (syukuran) kepada Tuhan atas pemberiannya itu.
2)
Dalam upacara kematian, ucapan untuk
menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi :
·
Kamping morin agu ngaran
2.
Kekeluargaan
Suku Manggarai
Keluarga
inti mereka sebut cak kilo. Keluarga-keluarga inti ini bergabung dalam keluarga
batih patrilineal (keluarga luas terbatas) yang disebut kilo. Beberapa kilo
yang berasal dari satu kakek moyang yang sama tergabung menjadi klan yang
disebut panga. Pada masa sekarang nampaknya panga-panga itu lebih banyak berfungsi
sebagai sumber nama kekerabatan. Pada masa dulu panga-panga itu masih merupakan
bagian dari klan yang lebih besar (wau).
3. Ritual
Suku Manggarai terkenal memiliki sederet upacara ritual sebagai ucapan syukur atas kehidupan yang sudah dijalani dalam periode waktu tertentu, antara lain :
·
Penti Manggarai, upacara adat merayakan syukuran atas hasil panen,
·
Barong Lodok, ritual mengundang roh penjaga kebun di pusat lingko (bagian
tengah kebun),
·
Barong Wae, ritual mengundang roh leluhur penunggu sumber mata air,
·
Barong Compang, upacara pemanggilan roh penjaga kampung pada malam hari,
·
Wisi Loce, upacara yang dilakukan agar semua roh yang diundang dapat menunggu
sejenak sebelum puncak acara Penti, dan
·
Libur Kilo, upacara mensyukuri kesejahteraan keluarga dari masing-masing rumah
adat.
Suku Manggarai juga mempunyai
olahraga tradisional yang disebut caci, pertarungan saling pukul dan
tangkis dengan menggunakan pecut dan tameng yang dimainkan oleh dua orang
pemuda di sebuah lapangan luas. Pertunjukan caci diawali dengan pentas
tarian Danding, sebelum para jago cacicc beradu kebolehan memukul dan
menangkis. Tarian itu biasanya disebut juga sebagai Tandak Manggarai,
yang dipentaskan khusus hanya untuk meramaikan pertarungan caci.
4.
Sistem Organisasi Sosial atau Kemasyarakatan
a) Lembaga adat atau tua adat
a) Lembaga adat atau tua adat
·
Gendang
Sejarah berdirinya gendang
Secara etimologis, gendang adalah alat musik tradisional Manggarai sejenis drum. Sedangkan secara esensial, gendang adalah lembaga kekuasaan dari suatu masyarakat hukum adat. Seperti masyarakat hukum adat Gendang Mano, Gendang Alang Mano, Gendang Lame, dan Gendang Bea Laing. Sehingga secara umum Gendang adalah nenek moyang dari masyarakat hukum adat tertentu beserta keturunannya yang berkuasa untuk memerintah seluruh masyarakat hukum adat tertentu dan berkuasa atas wilayahnya.
Secara etimologis, gendang adalah alat musik tradisional Manggarai sejenis drum. Sedangkan secara esensial, gendang adalah lembaga kekuasaan dari suatu masyarakat hukum adat. Seperti masyarakat hukum adat Gendang Mano, Gendang Alang Mano, Gendang Lame, dan Gendang Bea Laing. Sehingga secara umum Gendang adalah nenek moyang dari masyarakat hukum adat tertentu beserta keturunannya yang berkuasa untuk memerintah seluruh masyarakat hukum adat tertentu dan berkuasa atas wilayahnya.
Dalam hal terbentuknya gendang, walaupun memiliki
sejarah tersendiri tetapi melihat struktur lembaga hukum adat yang berlaku
sampai sekarang di Kabupaten Daerah Tingkat II Manggarai, maka gendang dibentuk
atau diadakan oleh Gelarang yang tugasnya untuk menyelesaikan sengketa tanah
atau lingko yang timbul antara gendang dan menentukan serta membagikan
lingko-lingko kepada setiap kampung atau gendang.
Cara lain yang membentuk atau mengadakan gendang adalah sebagai akibat memenangkan perang atau menguasai suatu wilayah kosong.
Cara lain yang membentuk atau mengadakan gendang adalah sebagai akibat memenangkan perang atau menguasai suatu wilayah kosong.
Gendang Mano yang dimaksud dalam
penelitian ini dibentuk setelah menguasai suatu wilayah kosong yang telah
ratusan tahun ditinggalkan. Wilayah kosong ini ditemukan oleh nenek moyang
orang Mano yaitu suku Kuleng. Suku ini kemudian membentuk Gendang’n one
lingko’n pe’ang yang berdiri sampai saat ini. Perlu juga diketahui bahwa nenek
moyang pertama yang menguasai wilayah Mano adalah Empo Mbak. Empo Mbak ini
adalah pelarian atau orang buangan dari suku Minangkabau sebagai akibat
perebutan kekuasaan. Dalam legenda orang Manggarai, Empo Mbak ini adalah
seorang keturunan raja Minangkabau.
Dalam perkembangannya, karena memiliki lingko yang luas dan banyak maka Gendang Mano memberikan (widang) suatu lingko kepada orang Alang sebagai tanda persaudaraan.
Dalam perkembangannya, karena memiliki lingko yang luas dan banyak maka Gendang Mano memberikan (widang) suatu lingko kepada orang Alang sebagai tanda persaudaraan.
Kemudian terbentuklah gendang’n onen
lingkon’n pe’ang, dari Gendang Alang Mano.Demikian juga dengan Gendang Bea
Laing yang disebut dengan Gendang Ase Ka’e (famili, sanak saudara), karena
sebenarnya Bea Laing berasal dari suku Pau Ruteng. Atas kebaikan orang Mano
mereka lalu diberikan untuk menghuni wilayah Bangka Pau di Mano kemudian pindah
ke Mera Mano. Karena perkembangan akhirnya mereka pindah ke Bea Laing untuk
menetap, dan melalui perkawinan maka terjadilah hubungan dengan masyarakat
Gendang Mano, karena melalui suatu kebijaksanaan maka Gendang Mano memberikan
lingko kepada suku Pau Ruteng.
Sedangkan terbentuknya Gendang Lame
atau gendang widang (pembagian) adalah gendang pembagian kepada saudari perempuan
atau kepada anak mantu.Maka Gendang Mano membagi lingko untuk mendirikan
Gendang Lame. Serta lembaga hukum adatnya yaitu Gendang’n onen lingko’n pe’ang.
Sehingga hubungan antara Gendang Mano dan ketiga Gendang tersebut sangat erat
dan harmonis dan ketiga Gendang yang dibentuk tetap tunduk dan taat kepada
Gendang Mano, seperti dalam hal sebagai berikut :
Ketiga Gendang harus tunduk dan taat
kepada perintah dari Gendang Mano dalam hubungan adat istiadat mengenai lingko.
ü
Apabila ketiga Gendang tersebut
membagi moso atau lodok (membagi tanah per keluarga), Gendang Mano harus
mendapatkan juga satu bagian sebagai Gendang induk.
ü
Masyarakat dari kegita Gendang harus hadir
apabila dipanggil oleh Tu’a Gendang Mano sehubungan dengan pesta penti.
a)
Fungsi, tugas dan struktur
organisasi gendang
Pada dasarnya fungsi, tugas dan struktur organisasi
gendang yang ada di Manggarai sama.
1)
Fungsi organisasi gendang :
·
Menegakkan sejarah garis keturunan.
·
Mempertahankan kekuasaan gendang.
·
Mempersatukan warga gendang.
·
Menata kehidupan sosial warga
gendang.
·
Mempertahankan kepemilikan tanah dan
mengatur pembagiannya.
·
Membentuk pertahanan yang kuat dalam
menghadapi musuh.
2)
Tugas organisasi gendang :
·
Menjaga dan memelihara kesinambungan
keberadaan keturunan gendang.
·
Menata ketertiban sosial bagi
kehidupan warga gendang.
·
Memasukkan kehidupan bersama warga
gendang.
5.
Ilmu Pengetahuan
Sejak dulu, orang Manggarai memiliki pengetahuan
tentang alam sekitarnya, baik fauna maupun flora dengan seluruh ekosistemnya.
Sistem dan pola hidup masyarakat Manggarai yang agraris mengharuskan mereka
memiliki pengetahuan yang cukup tentang flora, tentang tanaman atau
tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat bagi kehidupannya.
Begitu pun pengetahuan tentang fauna dimiliki secara turun temurun karena orang Manggarai pada dasarnya senang beternak dan berburu.
Begitu pun pengetahuan tentang fauna dimiliki secara turun temurun karena orang Manggarai pada dasarnya senang beternak dan berburu.
6.
Bahasa
Mengutip hasil penelitian Pastor P.J. Verheijen, SVD
yang dilakukannya sebelum 1950 menyebutkan bahwa di Manggarai terdapat enam
bahasa, yaitu bahasa Komodo di pulau Komodo, bahasa Werana di Manggarai
Tenggara, bahasa Rembong di Rembong yang wilayahnya meluas ke Ngada Utara,
bahasa Kempo di wilayah Kempo, bahasa Rajong di wilayah Rajong dan bahasa
Manggarai Kuku yang termasuk atas lima kelompok dialeg, termasuk bahasa
Manggarai Timur Jauh.
Pengelompokkan bahasa tersebut sekaligus
mengisyaratkan secara umum kelompok budaya di Manggarai yang erat kaitannya
dengan corak kesatuan genealogis, sebab kesatuan genealogis yang lebih besar di
Manggarai adalah Wa’u (klen patrilineal) dan perkawinan pun patrilokal. Dalam
kesatuan genealogis inilah bahasa terpelihara baik secara turun temurun.
Suku ini menuturkan bahasa Manggarai, sebuah bahasa yang disebut
sebagai tombo Manggarai oleh para penutur aslinya. Bahasa ini
mempunyai sekitar 43 subdialek.
7.
Kesenian
Di Manggarai juga tumbuh dan berkembang berbagai jenis
kesenian khas daerah ini seperti seni sastra, musik, tari, lukis, disain dan
kriya. Dari berbagai jenis kesenian itu, ada dua jenis yang sudah mencapai
tingkat sebuah peradaban dan sudah dikenal luas, yakni seni pertunjukan caci
dan seni rupa (kriya), songke.
Caci sudah merupakan puncak kebudayaan Manggarai yang
unik dan sarat makna: seni gerak (lomes), nilai etika (sopan santun), nilai
estektika, muatan nilai persatuan, ekspresi suka cita, nilai sportifitas, serta
penanaman percaya diri.
ü
Beberapa macam kesenian di Manggarai
:
1)
Seni Musik
Alat-alat musik tradisional : sunding, gong, gendang, tambor, tinding.
Alat-alat musik tradisional : sunding, gong, gendang, tambor, tinding.
2)
Seni Tenun
Tenun Songke
Seni kriya songke sarat dengan nilai dan simbol. Warna dasar hitam pada songke melambangkan sebuah arti kebesaran dan keagungan orang Manggarai serta kepasrahan bahwa semua manusia akhirnya akan kembali pada Yang Maha Kuasa. Sedangkan aneka motif bunga pada kain songke mengandung banyak makna sesuai motif itu sendiri seperti motif wela kawong bermakna interdependensi antara manusia dengan alam sekitarnya.
Motif ranggong (laba-laba) bersimbol kejujuran dan kerja keras. Motif ju’i (garis-garis batas) pertanda keberakhiran segala sesuatu, yaitu segala sesuatu ada akhirnya, ada batasnya. Motif ntala (bintang) terkait dengan harapan yang sering dikumandangkan dalam tudak, doa porong langkas haeng ntala, supaya senantiasa tinggi sampai bintang.
Seni kriya songke sarat dengan nilai dan simbol. Warna dasar hitam pada songke melambangkan sebuah arti kebesaran dan keagungan orang Manggarai serta kepasrahan bahwa semua manusia akhirnya akan kembali pada Yang Maha Kuasa. Sedangkan aneka motif bunga pada kain songke mengandung banyak makna sesuai motif itu sendiri seperti motif wela kawong bermakna interdependensi antara manusia dengan alam sekitarnya.
Motif ranggong (laba-laba) bersimbol kejujuran dan kerja keras. Motif ju’i (garis-garis batas) pertanda keberakhiran segala sesuatu, yaitu segala sesuatu ada akhirnya, ada batasnya. Motif ntala (bintang) terkait dengan harapan yang sering dikumandangkan dalam tudak, doa porong langkas haeng ntala, supaya senantiasa tinggi sampai bintang.
Maksudnya, agar senantiasa sehat, umur panjang, dan
memiliki ketinggian pengaruh lebih dari orang lain dalam hal membawa perubahan
dalam hidup.
Motif wela runu (bunga runu), yang melambangkan sikap atau ethos bahwa orang Manggarai bagaikan bunga kecil tapi memberikan keindahan dan hidup di tengah-tengah kefanaan ini.
Motif wela runu (bunga runu), yang melambangkan sikap atau ethos bahwa orang Manggarai bagaikan bunga kecil tapi memberikan keindahan dan hidup di tengah-tengah kefanaan ini.
3)
Seni Sastra
Cerita-cerita rakyat.
Cerita-cerita rakyat.
4)
Seni Tari
Ronda adalah sebuah nyanyian yang dipakai sebagai
nyanyian perarakan, misalnya menjemput tamu baru.
ü
Sae
Sebuah tarian adat Manggarai untuk memeriahkan sebuah pesta. Misalnya dalam upacara adat masyarakat yaitu upacara paki kaba dalam rangka congko lokap atau menempatkan kampung baru.
Sebuah tarian adat Manggarai untuk memeriahkan sebuah pesta. Misalnya dalam upacara adat masyarakat yaitu upacara paki kaba dalam rangka congko lokap atau menempatkan kampung baru.
ü
Sanda
Sebuah nyanyian, yang dinyanyikan oleh banyak orang dalam bentuk lingkaran. Sanda sering dipakai dalam upacara menjelang pesta penti dan pesta adat lainnya.
Sebuah nyanyian, yang dinyanyikan oleh banyak orang dalam bentuk lingkaran. Sanda sering dipakai dalam upacara menjelang pesta penti dan pesta adat lainnya.
1.
Danding
2.
Wera
8.
Sistem Mata Pencaharian atau Ekonomi
Mata pencaharian sebagian besar suku
Manggarai adalah bercocok tanam di ladang dan di sawah. Pada umumnya
mereka menanam padi, jagung, ubi kayu dan sayur. Hewan ternak yang paling utama
di daerah masyarakat ini adalah kuda.
Aktivitas perekonomian atau mata pencaharian sudah
sangat lama dikenal dalam masyarakat Manggarai. Bahkan sepanjang usia peradaban
yang dimilikinya, seusia itu pula pengenalan masyarakat setempat terhadap
kegiatan mencari nafkah, berdagang atau bermata pencaharian.
Dalam bidang pertanian, sudah sangat lama dikenal pola perkebunan yang disebut oleh masyarakat setempat dengan lingko (kebun komunal atau sistem pembagian tanah pertanian yang disebut lodok).
Sama seperti halnya sub-sistem sosial yang lain, sub-sistem ekonomi dan mata pencaharian orang Manggarai senantiasa melekat dengan nuansa-nuansa religi. Pesta kebun adalah acara syukuran kepada mori jari dedek dan arwah nenek moyang atas hasil padi dan jagung yang diperoleh. Begitu pula upacara penanaman benih atau upacara silih yang dilakukan agar kebun atau ladang terhindarkan dari berbagai hama penyakit yang mengganggu tanaman.
Seperti diketahui, masyarakat Manggarai pada umumnya adalah masyarakat agraris. Secara turun temurun dua jenis tanaman andalan masyarakat adalah padi dan jagung. Bahwa kemudian kopi mendapat tempat sebagai komoditas yang akrab dengan orang Manggarai.
Dalam bidang pertanian, sudah sangat lama dikenal pola perkebunan yang disebut oleh masyarakat setempat dengan lingko (kebun komunal atau sistem pembagian tanah pertanian yang disebut lodok).
Sama seperti halnya sub-sistem sosial yang lain, sub-sistem ekonomi dan mata pencaharian orang Manggarai senantiasa melekat dengan nuansa-nuansa religi. Pesta kebun adalah acara syukuran kepada mori jari dedek dan arwah nenek moyang atas hasil padi dan jagung yang diperoleh. Begitu pula upacara penanaman benih atau upacara silih yang dilakukan agar kebun atau ladang terhindarkan dari berbagai hama penyakit yang mengganggu tanaman.
Seperti diketahui, masyarakat Manggarai pada umumnya adalah masyarakat agraris. Secara turun temurun dua jenis tanaman andalan masyarakat adalah padi dan jagung. Bahwa kemudian kopi mendapat tempat sebagai komoditas yang akrab dengan orang Manggarai.
Sejak tahun 1938, pembukaan sawah dengan sistem
irigasi sudah dikenal di Manggarai. Semula sistem irigasi persawahan ini kurang
diminati masyarakat karena terasa asing. Tapi, setelah melihat hasil pekerjaan
orang yang mengerjakan jauh lebih baik dan menjanjikan, maka sistem irigasi pun
secara berangsur-angsur mulai ditiru dan kemudian malah menjadi kegiatan
primadona.
Di samping mengerjakan sawah, berladang dan menanam
kopi orang Manggarai juga terkenal handal dalam beternak kerbau, sapi, kuda,
babi, anjing, ayam, serta melaut.
9. Politik
Sistem politik mereka berdasarkan pada klan, dipimpin oleh seorang kepala klan yang dipanggil Todo. Suku ini menerapkan sistem keturunan Patrilineal, dan secara historis mereka bermukim di desa-desa, yang terdiri dari setidaknya dua klan.
10. Teknologi
Masyarakat Manggarai di masa lalu sudah mengenal
bahkan mampu menghasilkan peralatan atau perkakas yang dibutuhkan untuk
kehidupannya.
Secara tradisional, mereka sudah dapat membangun rumah.
Dalam hal pembuatan rumah, misalnya di Manggarai dikenal lima tahapan yang sekaligus menggambarkan konstruksi segi lima. Konstruksi segi lima ini berkaitan dengan latar belakang filosofis dan sosiologis. Angka ini memang dipandang sebagai angka keramat karena secara kausalistis dihubungkan dengan rempa lima (lima jari kaki), mosa lima (lima jari dalam ukuran pembagian kebun komunal), sanda lima, wase lima, lampek lima.
Untuk pakaian, orang Manggarai sebelum mereka mengenal tenun ikat, bahan pakaiannya terbuat dari kulit kayu cale (sejenis sukun).
Sementara untuk perhiasan sebelum mereka mengenal logam, perhiasan mereka umumnya terbuat dari tempurung kelapa, kayu atau akar bahar.
Begitupun teknologi pembuatan minuman tradisional juga sudah dikenal cama di masyarakat Manggarai, yakni proses pembuatan atau mencampur air enau dengan kulit damer sehingga menghasilkan alkohol berkadar tinggi seperti arak atau tuak.
Secara tradisional, mereka sudah dapat membangun rumah.
Dalam hal pembuatan rumah, misalnya di Manggarai dikenal lima tahapan yang sekaligus menggambarkan konstruksi segi lima. Konstruksi segi lima ini berkaitan dengan latar belakang filosofis dan sosiologis. Angka ini memang dipandang sebagai angka keramat karena secara kausalistis dihubungkan dengan rempa lima (lima jari kaki), mosa lima (lima jari dalam ukuran pembagian kebun komunal), sanda lima, wase lima, lampek lima.
Untuk pakaian, orang Manggarai sebelum mereka mengenal tenun ikat, bahan pakaiannya terbuat dari kulit kayu cale (sejenis sukun).
Sementara untuk perhiasan sebelum mereka mengenal logam, perhiasan mereka umumnya terbuat dari tempurung kelapa, kayu atau akar bahar.
Begitupun teknologi pembuatan minuman tradisional juga sudah dikenal cama di masyarakat Manggarai, yakni proses pembuatan atau mencampur air enau dengan kulit damer sehingga menghasilkan alkohol berkadar tinggi seperti arak atau tuak.
Masyarakat Manggarai sejak dulu juga sudah mengenal
cara pembuatan obat-obatan yang berasal dari daun-daunan, misalnya londek jembu
yaitu pucuk daun jambu untuk mengobati sakit perut, kayu sita, untuk
pengombatan disentri.
Sebelum mengenal logam, untuk alat-alat pertanian, masyarakat Manggarai sudah mengenal perkakas dari bambu, kayu atau tanah liat untuk mengolah tanah pertanian. Sementara alat perburuan yang dikenal yakni bambu runcing, lidi enau, tali ijuk.
Sebelum mengenal logam, untuk alat-alat pertanian, masyarakat Manggarai sudah mengenal perkakas dari bambu, kayu atau tanah liat untuk mengolah tanah pertanian. Sementara alat perburuan yang dikenal yakni bambu runcing, lidi enau, tali ijuk.
C. Asal
usul Manggarai
Asal-usul orang
Manggarai mungkin akan lebih jelas bila kita menggunakan parameter Teori
Out of Africa. Teori Out of Africa ini mengatakan
bahwa seluruh ras manusia modern berasal dari Africa. Dalam dunia akademis,
teori ini lebih diterima dari pada Teori Multiregional
(Kontinuitas Regional). Sebuah teori lain yang
mengatakan bahwa ras-ras manusia modern dewasa ini merupakan hasil
evolusi manusia purba yang terjadi secara
independen atau sendiri-sendiri di banyak wilayah di bumi ini. Teori ini
tidak tahan uji karena tidak mampu menjawab masalah adanya missinglink antara
manusia purba dengan manusia modern.
Teori Out of Africa mendasarkan diri atas penelusuran genetik populasi manusia dengan
menggunakan biologi molekuler. Dipastikan
bahwa seluruh ras manusia merupakan hasil evolusi manusia modern benua
Afrika (Homo sapiens) dan tidak mendapatkan turunan genetic dari hominid-hominid pendahulunya seperti
hominid Eropa (Neanderthal) maupun hominid Asia baik yang fosilnya ditemukan di
Peking maupun di Jawa.
Dr. Alice Robert -
salah satu pendukung Teori Out of Africa
|
Dalam bukunya, The Incredible Human Journey, Dr. Alice Roberts
menelusuri sejarah migrasi manusia berdasarkan penemuan-penemuan tulang
belulang homo sapiens dan merangkainya dalam teori perjalanan manusia yang
dimulai dari Afrika pada 150.000 tahun yang lalu. Dari penemuan-penemuan itu,
Roberts dan para ahli lainnya membangun teori bahwa seluruh manusia apapun
rasnya berasal dari Afrika dan menyebar keseluruh penjuru dunia. Teori itu
dibangun lewat jejak DNA dari berbagai ras manusia di dunia dan metode
menghubungkan iklim dunia pada saat itu dengan proses migrasi manusia.
Dr
Roberts memperkirakan bahwa ini terjadi pada 70.000 tahun yang lalu, ketika
iklim bumi berubah, dan gurun Sahara menghijau hanya beberapa ratus tahun
lamanya. Kesempatan ini memungkinkan sekelompok manusia melintasi Afrika dan
menyeberang ke jazirah Arab sebelah selatan.Dari sana kelompok itu memecahkan
diri. Ada yang menuju ke timur dan ada yang menuju ke barat. Kelompok
yang menuju ke timur, mencapai Anak Benua India melalui Timur Tengah dan
mencapai Oseania melalui Indonesia . Diperkirakan 50 sampai 60 ribu tahun lalu
mereka telah sampai di Australia lebih dahulu sebelum menyebar di wilayah Asia
lainnya.
D. Asal Mula Suku Suka di Kabupaten Manggarai
”Konon, di puncak
Mandosawu hiduplah sepasang suami isteri yg bernama Jun dan Jendu. Mereka
mempunyai lima orang anak laki-laki. Selain itu, mereka juga memiliki anak-
anak yg lain berupa poti koing (makhluk gaib), darat (dedemit), nepa' (ular
sanca), ka' (burung gagak), dan beberapa jenis binatang lainnya. “
Karena
begitu banyaknya anak mereka dengan berbagai karakter yang berbeda, keseharian
keluarga ini selalu diwarnai percecokan dan perselisihan. Oleh karena itu, sang
ayah memutuskan untuk memisahkan anak-anaknya dengan menempatkan kelima anak
laki-lakinya di berbagai wilayah di Manggarai untuk bisa hidup mandiri. Pada
akhirnya kelima anak laki-laki ini menurunkan beberapa suku penting di
Manggarai. Anak sulung menghasilkan keturunan Todo, anak kedua menghasilkan
keturunan Pongkor, anak ke tiga menghasilkan keturunan Ruteng Pu'u, anak ke
empat menurunkan suku Congkar dan anak bungsu merupakan nenek moyangnya suku
Suka.
Ketika
kelima anak ini keluar dari Mandosawu, usia si bungsu yg diberi nama Ndolu masih
sangat muda. Oleh sebab itu, dalam perjalanannya ke arah timur ia ditemani dan
dipandu oleh beberapa saudaranya berupa nepa', ka', dan poti koing.
Setelah
menempuh perjalanan jauh yang cukup lama dan melelahkan, maka tibalah mereka di
tempat tujuan yaitu di Pong Suka dalam kawasan pegunungan Poco Mbengan yg kini
terletak di Desa Ranakolong Kecamatan Kota Komba.
Selama
berada di Pong Suka kedua saudaranya mengajari dan membimbing si bungsu untuk
bisa membangun pondok, mencari makanan dan berkebun. Setelah si bungsu dirasa
sudah bisa mengurusi dirinya sendiri ketiga saudaranya pun pulang ke Mandosawu
dan meninggalkan si bungsu sendirian.
Diceritakan,
bahwa dalam kesendiriannya si bungsu yang kala itu mulai beranjak dewasa merasa
sangat kesepian. Ia pun merindukan kedua orang tuanya serta saudara- saudaranya
di Mandosawu sampai suatu ketika di Pong Suka terjadilah hujan lebat tanpa
henti selama tujuh hari tujuh malam. Ketika hujan mulai reda pada hari ketujuh,
terjadilah suatu keajaiban. Tiba-tiba, muncullah seorang gadis cantik di
hadapan si bungsu. Gadis inilah yang menemani dan mengisi hari-hari si bungsu.
Dengan hadirnya gadis cantik tersebut maka kesepian, kerinduan dan kegamangan
si bungsu pun berbubah menjadi kegembiraan, suka cita dan harapan. Akhirnya,
mereka hidup bahagia sebagai suami isteri dan memiliki keturunan. Di kemudian
hari, anak-anak dari pasangan inilah yang menjadi cikal bakal keturunan suku
Suka di Manggarai Timur yang sekarang ini tersebar dan mendiami wilayah
Ronggakoe dan sekitarnya.
Dalam
sejarah perkembangannya, dengan alasan yang tidak disebutkan salah satu dari
keturunan suku Suka di Manggarai Timur bermigrasi ke arah barat. Keturunan Suka
pun menyebar ke daerah Kolang di Kuwus, Manggarai Barat. Sampai sekarang, baik
suku Suka di Ronggakoe maupun di Kolang tidak memungkiri bahwa mereka merupakan
saudara yang berasal dari nenek moyang yang sama di Pong Suka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
Depdikbud 1977/1978, Lebar 1964
http://rifkiandriantono.blogspot.co.id/2015/08/makalah-tentang-7-unsur-kebudayaan-suku.html
diakses tanggal 24 januari 2016
https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Flores
diakses tanggal 24 januari 2016
http://florestrawang-letare.blogspot.co.id/
diakses tanggal 24 januari 2016
Suku Manggarai di britannica.com, Encyclopædia Britannica versi daring. Diakses 30 Juli 2013.
"Etnis
Manggarai, dari Ritual ke Ritual". Liputan6.com, 19 Agustus 2001. Diakses 30 Juli 2013."Manggarai" di Ethnologue. Diakses 30 Juli 2013.
Ibu kesimpulan dan sarannya tidak ada.
BalasHapusYayayaaass
BalasHapus